doa anak dari quran

doa anak dari quran

doa anak

~Ya ALLAH, berikanlah aku kesabaran dalam mendidik anak-anak ku. Jadikanlah anak-anakku anak yang soleh, baik pekerti, berhati lembut, baik budi bicara dan cerdas akal fikirannya, peliharalah anak-anakku dalam cahaya keimanan-MU ya ALLAH. Sesungguhnya hanya Engkau pemakbul segala doa. Amiin~

Monday, December 8, 2025

QUR'AN 13:41 DOA IBU BAPA

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ  

Excellent and precise question. The relationship of Qur'an 14:41 to the concept of a child's intercession on behalf of parents is a key point of theological discussion. The answer is nuanced:

Yes, this verse is directly related to a child's intercession for parents, but it is specifically in the form of a supplication (du'a) made in this life for their forgiveness in the Hereafter.

Here’s a detailed breakdown of the relationship and the important distinctions:

1. The Verse as a Model of Filial Piety

The verse is part of a prayer by Prophet Ibrahim (Abraham). He, a believing and prophetic child, is actively praying to God for the forgiveness of his parents. This establishes a powerful Islamic principle:

· A righteous child has a lasting moral and spiritual responsibility towards their parents, even after attaining their own faith and station.
· One of the greatest acts of kindness a child can perform is to sincerely pray for their parents' mercy and forgiveness in the afterlife.

In this sense, it is a form of intercession through supplication—a child pleading with God on behalf of their parents.

2. The Crucial Distinction: Du'a vs. Shafa'ah

This is where important Islamic theological distinctions come in:

· Du'a (Supplication): This is a prayer or plea made to God by the living, in this worldly life. Qur'an 14:41 falls squarely into this category. Prophet Ibrahim is making a du'a during his lifetime. Muslims are encouraged to emulate this by constantly praying for their parents' forgiveness. This is a universally accepted, uncontested form of "intercession."
· Shafa'ah (Intercession): In Islamic eschatology, this term usually refers to intercession on the Day of Judgment itself. It is the act of an appointed intercessor (like a prophet, or by God's permission, other beings) pleading for the forgiveness or elevation of a believer on that Day. The Qur'an states that all intercession on that Day belongs solely to God (e.g., 39:44) and is granted only to those He permits.

3. Does this verse refer to Shafa'ah on Judgment Day?

The consensus of classical commentators is that this verse is not about Ibrahim's Shafa'ah on the Day of Resurrection. Instead, it is his du'a in this life that, by God's mercy, may benefit his parents in the Hereafter.

Key reasons from exegetes (Mufassireen):

· Context: The entire passage (Qur'an 14:35-41) is a series of prayers Ibrahim made during his life concerning his settlement in Mecca, the security of his family, and turning his descendants and people towards worship.
· Timing of the Prayer: The phrase "on the day the Account is established" specifies when he is asking for the forgiveness to be applied (on Judgment Day), not when he is making the plea. He is making the plea now, for a future outcome.
· Parental Context: Notably, Islamic tradition holds that Ibrahim's father (Azar) was an idolater who rejected his message. Some scholars argue this prayer was for his believing mother or for a general blessing, while others see it as a reflection of Ibrahim's immense compassion, hoping his father might ultimately accept faith. This nuance highlights that the du'a is an expression of hope and mercy, not a guarantee of salvation for a disbeliever.

4. The Broader Principle: A Child's Righteous Deeds Benefiting Parents

Beyond du'a, Islamic tradition holds that a righteous child can continue to benefit their deceased parents through:

· Charity given on their behalf.
· Pilgrimage (Hajj) performed on their behalf.
· The ongoing prayers of a pious child.
  This is based on hadiths and is seen as an extension of the spirit of Qur'an 14:41.

Conclusion:

Yes, Qur'an 14:41 is fundamentally and directly related to a child's intercession for parents. However, it precisely establishes intercession through lifelong supplication (du'a) as the primary model for believers. It is not about a formal intercessory role (Shafa'ah) on the Day of Judgment, but about the powerful, ongoing spiritual connection between a child and their parents, where the child's prayers serve as a continuous source of mercy and a fulfillment of their duties long after their parents' worldly life has ended.

Therefore, the verse is a cornerstone for the Islamic concept that a pious child is a lasting source of blessing and hope for their parents' salvation.

Thursday, December 4, 2025

TERJEMAHAN AN-NISA 34

 Berdasarkan analisis penggunaan kata ض ر ب (ḍa-ra-ba) dalam berbagai konteks di seluruh Al-Quran, dan mempertimbangkan ketiadaan contoh praktik Nabi Muhammad SAW memukul isteri, berikut adalah terjemahan alternatif yang paling sesuai untuk frasa وَاضْرِبُوهُنَّ dalam Surah An-Nisa' (4):34, beserta justifikasi linguistik dan kontekstualnya:


Terjemahan Alternatif yang Dicadangkan:


"Dan pisahkanlah diri dari mereka (untuk sementara waktu)."

atau

"Dan tinggalkanlah mereka (dalam pengasingan yang bermakna)."


---


Justifikasi Berdasarkan Makna Lain Kata "ضرب" dalam Al-Quran:


1. Makna "Meninggalkan / Berjalan / Pergi" (To Depart / To Travel)


· Surah An-Nisa’ (4):101:

    وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ

    "Dan apabila kamu berjalan (ضربتم) di muka bumi (dalam perjalanan)..."

    Di sini, ضرب bermakna "berjalan / melakukan perjalanan", yaitu "meninggalkan suatu tempat".

· Surah Ali 'Imran (3):156:

    وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ

    "Dan apabila kamu berjalan (ضربتم) di muka bumi..."

    Penggunaan yang sama, menekankan makna pergi/meninggalkan.


Kesesuaian untuk An-Nisa’:34:

Setelah langkah kedua اهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ ("tinggalkan mereka di tempat tidur"), langkah ketiga boleh menjadi eskalasi dari "meninggalkan di tempat tidur" menjadi "meninggalkan mereka secara fizikal dalam ruang hidup yang sama" atau "memisahkan diri sepenuhnya untuk sementara waktu". Ini lebih logik sebagai urutan progresif:


1. Nasihat lisan.

2. Boikot fizikal terbatas (di tempat tidur).

3. Pemisahan ruang/komunikasi yang lebih ketara (seperti suami tidur di ruang lain, atau tidak berinteraksi sama sekali dalam rumah).


2. Makna "Menutup / Menyekat / Memisahkan" (To Cover / To Separate)


· Surah Al-Kahf (18):11:

    فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ

    "Maka Kami tutup (ضربنا) telinga mereka di dalam gua..."

    Di sini, ضرب bermakna "meletakkan penutup / menyekat", mencipta pemisahan antara mereka dan dunia luar.


Kesesuaian untuk An-Nisa’:34:

Langkah ketiga boleh difahami sebagai "menutup/menyekat komunikasi dan hubungan fizikal sepenuhnya", lebih dari sekadar "tidak tidur bersama". Ini adalah bentuk "hajr" (pengasingan) yang lebih menyeluruh dalam rumah tangga.


3. Makna "Memberikan Contoh / Menunjukkan" (To Cite / To Set an Example)


· Surah Ibrahim (14):24-25 (seperti dibahas sebelumnya): ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا ("Allah memberikan/membuat perumpamaan").


Kesesuaian untuk An-Nisa’:34 (lebih lemah tapi mungkin):

Boleh difahami sebagai "dan tunjukkanlah kepada mereka (dengan tindakan tegas) akan keseriusan masalah ini". Namun, makna ini kurang kuat kerana biasanya diikuti objek مَثَلًا.


---


Analisis Kontekstual yang Menguatkan Terjemahan Alternatif:


1. Konsistensi dengan Akhlak Nabi SAW:

      Nabi SAW tidak pernah dicatatkan memukul isteri, pembantu, atau bahkan haiwan. Beliau selalu menyelesaikan konflik dengan sabar dan hikmah. Maka, menterjemahkan ضرب sebagai tindakan fizikal yang keras (pukulan) adalah tidak selari dengan teladan hidup beliau, yang sepatutnya menjadi tafsir utama Al-Quran.

2. Urutan Logik (Eskalasi) yang Lebih Masuk Akal:

   · Langkah 1: Nasihat lisan (وعظ).

   · Langkah 2: Boikot seksual dan emosional di tempat tidur (هجر في المضاجع).

   · Langkah 3: Pemisahan fizikal/ruang yang lebih jelas (ضرب) sebagai langkah terakhir sebelum rujuk atau penyelesaian lebih serius.

        Urutan ini lebih manusiawi, progresif, dan menjaga maruah kedua pihak.

3. Prinsip Umum Al-Quran tentang Hubungan Suami-Isteri:

   · Surah Ar-Rum (30):21:

          وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

          "Dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih sayang dan rahmat."

   · Surah An-Nisa’ (4):19:

          وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

          "Dan bergaullah dengan mereka (isteri) secara patut (ma'ruf)."

        Tafsiran "pukul" sering bertentangan dengan prinsip "mu'amalah bil ma'ruf" ini, sementara "pisahkan diri" lebih menjaga kemungkinan rekonsiliasi dengan adab.

4. Dukungan dari Beberapa Sarjana Kontemporari:

   · Dr. Javad T. Hashmi (sarjana linguistik Al-Quran) menegaskan bahawa berdasarkan analisis semua penggunaan ضرب dalam Al-Quran, makna yang paling koheren dalam An-Nisa’:34 adalah "to separate from / to leave".

   · Amina Wadud dalam "Qur'an and Woman" mencadangkan "separate from them (berpisah dari mereka)".

   · Dr. Khaled Abou El Fadl juga cenderung kepada tafsiran metaforis atau pemisahan, dengan menekankan bahawa sebarang tafsiran yang membenarkan kekerasan adalah pengkhianatan terhadap etika Al-Quran.


Kesimpulan:


Terjemahan alternatif yang paling sesuai secara linguistik dan kontekstual adalah:

"Dan pisahkanlah diri dari mereka (untuk sementara)."


Terjemahan ini:


1. Berdasarkan makna legitimat kata "ضرب" yang wujud dalam Al-Quran sendiri (berjalan/meninggalkan, menutup/memisahkan).

2. Selaras dengan akhlak dan praktik Nabi Muhammad SAW yang penuh rahmah.

3. Menjaga ruh (spirit) Al-Quran yang mengutamakan penyelesaian damai, keadilan, dan pemeliharaan maruah manusia.

4. Menawarkan eskalasi logik dalam menyelesaikan konflik rumah tangga.


Walaupun tafsiran klasik mungkin kekal sebagai rujukan sejarah, tafsiran alternatif ini lebih relevan dan etis untuk konteks masa kini, di mana kekerasan rumah tangga dikenali sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan di mana teladan Nabi SAW sebagai suami yang lemah lembut harus diutamakan.

JIKA GUNUNG TERIMA QUR'AN

 Berikut adalah huraian literal (kata demi kata) dan kebahasaan untuk Surah Al-Hasyr Ayat 21:


Teks Arab:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ


---


Huraian Kata Demi Kata & Struktur Tatabahasa:


Frasa Pertama: Perumpamaan Hipotesis


1. لَوْ (Law): Partikel syarat yang bermaksud "jika sekiranya", digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang tidak terjadi atau hipotesis (kalimat syarat yang mustahil/tidak nyata).

2. أَنْزَلْنَا (Anzalnā): Kata kerja bentuk lampau (fi'il mādi) dari akar kata ن ز ل (n-z-l), bermakna "kami turunkan". Kata ganti "nā" (ـنا) adalah kata ganti pertama jamak yang bermakna "Kami", merujuk kepada Allah sebagai subjek (dalam konteks ini sebagai kata ganti kemuliaan/royal plural).

3. هَٰذَا (Hādzā): Kata tunjuk dekat, bermaksud "ini".

4. الْقُرْآنَ (Al-Qur'āna): Kata nama khas, "Al-Qur'an". Tanda -a (fathah) di akhir menunjukkan ia sebagai objek (maf'ul bih) dari kata kerja "anzalnā".

5. عَلَىٰ ('Alā): Kata sendi nama (harf jar), bermakna "kepada/atas".

6. جَبَلٍ (Jabalin): Kata nama yang bermakna "gunung". Tanda -in (kasrah) di akhir menunjukkan ia sebagai kata yang disandarkan (majrur) kerana didahului oleh kata sendi nama "alā".

   Terjemahan literal frasa pertama:

       "Jika sekiranya Kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung..."


---


Frasa Kedua: Akibat dari Hipotesis


1. لَرَأَيْتَهُ (Lara`aitahu):

   · لَ (La): Huruf penekanan (lam tawkid) yang menguatkan makna, boleh diterjemahkan sebagai "pasti/niscaya/sungguh".

   · رَأَيْتَ (Ra`aita): Kata kerja bentuk lampau (fi'il mādi) dari akar kata ر أ ي (r-a-y), bermakna "kamu melihat". Kata ganti "ta" (ـتَ) merujuk kepada pendengar (kata ganti kedua lelaki tunggal), iaitu manusia (secara umum).

   · ـهُ (-hu): Kata ganti lelaki tunggal yang dirujuk (dhamir) yang bermakna "nya", merujuk kembali kepada "gunung" (jabal).

     Jadi, "la-ra`aita-hu" = "pasti kamu akan melihatnya (gunung itu)".

2. خَاشِعًا (Khāsyi'an): Kata sifat (hal) dalam bentuk isim fā'il (pelaku), dari akar kata خ ش ع (kh-sy-'), yang mengandungi makna "tunduk", "merendah", "penuh ketakutan dan kepatuhan". Bentuk ini menggambarkan keadaan gunung tersebut.

3. مُتَصَدِّعًا (Mutashaadi'an): Kata sifat (hal) kedua, juga dalam bentuk isim fā'il, dari akar kata ص د ع (sh-d-'), yang bermakna "terbelah", "retak/pecah", "bercelah-celah". Ini adalah keadaan lain yang menyertai gunung tersebut. Kedua kata sifat ini (khāsyian dan mutashaadi'an) menerangkan keadaan gunung sebagai hasil dari apa yang akan dilihat.

4. مِنْ (Min): Kata sendi nama (harf jar) yang bermakna "disebabkan oleh/kerana".

5. خَشْيَةِ (Khasy-yati): Kata nama (masdar) dari akar kata yang sama dengan khāsyian (خ ش ع), bermakna "rasa takut".

6. اللَّهِ (Allāhi): Kata nama khas, "Allah". Ia adalah mudhaf ilaih (kata yang disandarkan kepadanya) bagi "khasy-yati".

   Terjemahan literal frasa kedua:

       "...pasti kamu akan melihatnya dalam keadaan tunduk dan terpecah belah disebabkan rasa takut kepada Allah."


---


Frasa Ketiga: Tujuan Perumpamaan


1. وَتِلْكَ (Wa Tilka):

   · وَ (Wa): Kata sambung, bermakna "dan".

   · تِلْكَ (Tilka): Kata tunjuk jauh untuk kata nama feminin (isim isyarah li al-ba'id), bermakna "itu" (merujuk kepada perumpamaan yang baru disebut).

2. الْأَمْثَالُ (Al-Amthālu): Kata nama jamak (jama') dari matsal (مَثَل), bermakna "perumpamaan-perumpamaan". Ia adalah mubtada' (subjek) dalam struktur ayat baru.

3. نَضْرِبُهَا (Nadhribuhā):

   · نَضْرِبُ (Nadhribu): Kata kerja bentuk sedang/kini (fi'il mudāri') dari akar kata ض ر ب (dh-r-b), yang asasnya bermakna "memukul", tetapi dalam konteks ini bermakna kiasan: "Kami jadikan/Kami buat/Kami kemukakan".

   · ـهَا (-hā): Kata ganti feminin tunggal yang bermakna "-nya", merujuk kembali kepada "al-amthāl" (perumpamaan-perumpamaan).

4. لِلنَّاسِ (Li al-Nāsi): Kata sendi nama li (untuk/bagi) + al-nāsi (manusia). Bermakna "untuk manusia".

5. لَعَلَّهُمْ (La'allahum):

   · لَعَلَّ (La'alla): Kata yang menunjukkan harapan dan kemungkinan (li at-taraji), bermakna "agar/supaya/mudah-mudahan".

   · ـهُمْ (-hum): Kata ganti jamak untuk mereka, merujuk kepada "al-nās" (manusia).

6. يَتَفَكَّرُونَ (Yatafakkarūna): Kata kerja bentuk sedang/kini (fi'il mudāri') dari akar kata ف ك ر (f-k-r), bermakna "mereka berfikir/merenungkan". Ia adalah fi'il mudāri' marfū' dengan tanda -ūna kerana sebagai fi'il dari fa'il hum (mereka).

   Terjemahan literal frasa ketiga:

       "Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami jadikan (Kami kemukakan) untuk manusia, agar mereka berfikir."


---


Ringkasan Makna Literal Secara Keseluruhan:


"Jika sekiranya (andaikan) Kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya (gunung itu) dalam keadaan tunduk dan terpecah belah disebabkan rasa takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan seperti itu Kami kemukakan untuk manusia, agar mereka (mahu) berfikir (merenung)."


Poin Penting dari Analisis Literal:


1. Gaya Bahasa Hipotesis (Law): Ayat ini membangun sebuah senario yang mustahil (gunung menerima wahyu) untuk mengetengahkan sebuah kebenaran yang sangat nyata, iaitu keagungan dan beratnya tanggungjawab Al-Qur'an.

2. Dua Sifat yang Menjelaskan Keadaan (Hāl): Gunung digambarkan bukan sekadar runtuh fizikal (mutashaadi'an), tetapi lebih dahulu dalam keadaan "khāsyian" – tunduk, khusyuk, dan takut. Ini menunjukkan bahawa Al-Qur'an bukan sekadar berat, tetapi membawa kesan spiritual dan emosional yang mendalam yang mendahului kesan fizikal.

3. Sebab yang Jelas (Min khasy-yati Allāhi): Keruntuhan dan ketundukan itu bukan kerana berat fizikal mushaf, tetapi kerana "rasa takut kepada Allah" yang terkandung dalam Kalam-Nya. Ini menekankan unsur ketuhanan (ilahiyyah) dan kewibawaan Al-Qur'an.

4. Tujuan Pedagogi yang Tegas: Ayat ini secara terang menyatakan tujuan perumpamaan ini – la'allahum yatafakkarūn (agar mereka berfikir). Ini adalah seruan langsung kepada akal dan hati manusia untuk mengambil pengajaran, berbanding dengan gunung yang diandaikan akan langsung hancur tak berupaya.

5. Kontras Tersirat: Metafora ini secara halus membandingkan kekerasan hati manusia (yang sering tidak terpengaruh oleh Al-Qur'an) dengan kelemahan dan ketundukan gunung yang gagah. Sekiranya gunung yang keras dan kukuh saja akan hancur, maka manusia yang lemah sepatutnya lebih lagi merasa takut dan tunduk.


Secara literal, ayat ini adalah teguran yang sangat halus namun mendalam tentang sikap manusia terhadap Al-Qur'an, dengan menggunakan perumpamaan yang sangat kuat untuk menyentuh lubuk hati dan akal pemikiran.

Tuesday, December 2, 2025

DOSA MENYEBABKAN ORANG LAIN SESAT

Berikut ialah huraian terperinci, frasa demi frasa, untuk Surah An-Nahl (16) Ayat 25:


Teks Arab:


لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۙ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ أَلَا سَاۤءَ مَا يَزِرُونَ


---


Analisis Harfiah Frasa Demi Frasa:


1. لِيَحْمِلُوا (Li-yahmilū)


· لِ (Li-): Partikel awalan yang bermaksud "supaya" atau "agar." Ia menunjukkan tujuan atau akibat.

· يَحْمِلُوا (yahmilū): Kata kerja (bentuk I), orang ketiga jamak maskulin, mood jussif. Daripada akar ح-م-ل (ḥ-m-l), bermaksud "membawa" atau "memikul."

· Terjemahan Harfiah: "Supaya mereka memikul..."


2. أَوْزَارَهُمْ (Awzārahum)


· أَوْزَارَ (awzāra): Kata nama jamak dalam kes akusatif (أَوْزَار adalah jamak bagi وِزْر, wizr). Ia bermaksud "beban-beban" tetapi dalam Al-Quran selalu merujuk kepada "beban dosa," iaitu dosa-dosa itu sendiri.

· ـهُمْ (-hum): Akhiran milik, orang ketiga jamak maskulin, bermaksud "mereka."

· Terjemahan Harfiah: "...beban-beban dosa mereka..."


3. كَامِلَةً (Kāmilatan)


· Keterangan dalam kes akusatif, bentuk feminin tunggal untuk sepadan dengan kata nama feminin yang tersirat "beban." Daripada akar ك-م-ل (k-m-l), bermaksud "lengkap" atau "sempurna."

· Terjemahan Harfiah: "...secara lengkap/sempurna/penuh..."


4. يَوْمَ الْقِيَامَةِ (Yawma al-Qiyāmah)


· يَوْمَ (yawma): Kata nama dalam kes akusatif masa, bermaksud "pada hari."

· الْقِيَامَةِ (al-qiyāmah): Kata nama tentu dalam kes genitif. Daripada akar ق-و-م (q-w-m), bermaksud "bangun" atau "berdiri." Al-Qiyāmah ialah "Hari Kebangkitan."

· Terjemahan Harfiah: "...pada Hari Kiamat."


Segmen Pertama Lengkap: "Supaya mereka memikul beban-beban dosa mereka secara penuh pada Hari Kiamat..."


---


5. وَمِنْ أَوْزَارِ (Wa-min awzāri)


· وَ (wa): Kata hubung, "dan."

· مِنْ (min): Kata sendi nama, secara harfiah "daripada," tetapi dalam konteks ini bermaksud "sebahagian daripada."

· أَوْزَارِ (awzāri): Kata nama jamak genitif (mudhaf ilaih), bermaksud "beban-beban (dosa)."

· Terjemahan Harfiah: "...dan daripada (sebahagian) beban-beban (dosa)..."


6. الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ (Alladhīna yuḍillūnahum)


· الَّذِينَ (alladhīna): Kata ganti nama relatif, jamak maskulin, bermaksud "orang-orang yang..."

· يُضِلُّونَهُمْ (yuḍillūnahum): Kata kerja (bentuk IV), bentuk sekarang, orang ketiga jamak maskulin + akhiran objek. Daripada akar ض-ل-ل (ḍ-l-l), bermaksud "menyesatkan."

  · يُضِلُّونَ (yuḍillūna): "Mereka menyesatkan."

  · ـهُمْ (-hum): Akhiran objek, "mereka."

· Terjemahan Harfiah: "...orang-orang yang mereka sesatkan..."


7. بِغَيْرِ عِلْمٍ (Bi-ghayri 'ilmin)


· بِ (bi-): Kata sendi nama, "dengan."

· غَيْرِ (ghayri): Kata nama dalam kes genitif, bermaksud "selain daripada," "tanpa."

· عِلْمٍ ('ilmin): Kata nama dalam kes genitif, tak tentu. Daripada akar ع-ل-م ('-l-m), bermaksud "ilmu."

· Terjemahan Harfiah: "...tanpa ilmu." (iaitu, mereka menyesatkan kerana kejahilan).


Segmen Kedua Lengkap: "...dan daripada (sebahagian) beban dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu."


---


8. أَلَا سَاۤءَ مَا يَزِرُونَ (Alā sā'a mā yazirūn)


· أَلَا (alā): Partikel seruan yang menggabungkan "أ" (untuk menarik perhatian) dan "لا" (penafian, tetapi di sini untuk penekanan). Ia bermaksud "Ingatlah!" atau "Sesungguhnya!"

· سَاۤءَ (sā'a): Kata kerja (bentuk I), bentuk sempurna, daripada akar س-و-ء (s-w-'), bermaksud "menjadi buruk/keji." Di sini ia digunakan sebagai seruan: "Alangkah buruknya..." atau "Kejilah..."

· مَا (mā): Kata ganti nama relatif, bermaksud "apa yang."

· يَزِرُونَ (yazirūn): Kata kerja (bentuk I), bentuk sekarang, orang ketiga jamak maskulin. Daripada akar arkaik و-ز-ر (w-z-r), seerti dengan ح-م-ل (ḥ-m-l), bermaksud "memikul/membawa (beban)."

· Terjemahan Harfiah: "Sesungguhnya, alangkah buruknya apa yang mereka pikul!"


Terjemahan Penuh Secara Harfiah:


"Supaya mereka memikul beban-beban dosa mereka secara penuh pada Hari Kiamat, dan daripada (sebahagian) beban dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu. Sesungguhnya, alangkah buruknya apa yang mereka pikul!"


---


1. Siapakah Individu Tersebut dalam Konteks Qur'anik Asal?


Al-Quran tidak menamakan individu spesifik dalam ayat ini, tetapi ulasan klasik (Mufassirin) dan konteks wahyu di Makkah dan Madinah menunjuk kepada kategori yang jelas:


A. Pemimpin Musyrikin Quraisy (Konteks Makkah):


· Siapa: Tokoh seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Al-Walid ibn al-Mughirah.

· Mengapa: Mereka adalah elit politik, sosial, dan agama yang aktif menganiaya Muslim awal, mendustakan Nabi, dan menghalang orang ramai daripada mendengar atau menerima dakwahnya. Mereka menggunakan pengaruh, kekayaan, dan autoriti kabilah untuk menyesatkan pengikut mereka agar menolak Islam, seringkali melalui propaganda, boikot ekonomi, dan penyeksaan fizikal.


B. Orang-Orang Munafiq (Munafiqun) Madinah:


· Siapa: Tokoh seperti 'Abdullah ibn Ubayy ibn Salul.

· Mengapa: Mereka zahirnya menerima Islam tetapi secara rahsia merancang menentangnya. Mereka menyebarkan keraguan, percakaran (fitnah), dan khabar angin dalam masyarakat Muslim untuk melemahkan perpaduan dan keimanan. Mereka menyesatkan Muslim yang lemah dan muallaf dengan retorik dua muka mereka.


C. Ilmuan/Pemimpin Agama Yahudi dan Nasrani yang Bertindak secara Tidak Ikhlas:


· Siapa: Sesetengah pemimpin agama Ahli Kitab yang mengenali kebenaran risalah Nabi Muhammad (seperti yang digambarkan dalam Al-Quran) tetapi menyembunyikannya kerana dengki, takbur, atau takut kehilangan autoriti agama dan kekayaan.

· Mengapa: Mereka dikritik kerana "menulis Kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian mereka berkata: 'Ini daripada Allah'" (Al-Baqarah 2:79) dan kerana "menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya" (Al-Baqarah 2:146). Dengan berbuat demikian, mereka menyesatkan jemaah mereka sendiri daripada kebenaran terakhir.


Benang Merah: Kesemuanya adalah individu yang berpengaruh, berautoriti, atau dianggap berilmu yang menggunakan kedudukan mereka untuk secara aktif menyesatkan orang lain daripada kebenaran yang mereka ketahui atau sepatutnya kenali, "tanpa ilmu" (بِغَيْرِ عِلْمٍ)—bermaksud melalui kejahilan sengaja, pemalsuan, atau penyelewengan kebenaran.


---


2. Siapakah Mereka Pada Hari Ini? Kategori Teologi dan Etika


Secara Islam, prinsip ayat ini adalah abadi. Ia terpakai kepada sesiapa sahaja, pada mana-mana zaman, yang memenuhi kriterianya. Mengenal pasti "siapa mereka" bukanlah tentang menamakan individu atau kumpulan tertentu (yang memerlukan ilmu yang berhati-hati dan adil serta mengelakkan fitnah umum) tetapi tentang mengenal pasti peranan dan tingkah laku yang dikecam oleh ayat ini. Mereka adalah mereka yang:


A. Pemimpin Agama yang Menyesatkan & Pihak Berautoriti Palsu:


· "Ulama" atau "Syeikh" yang mengisytiharkan diri sendiri yang mengeluarkan fatwa tanpa ilmu yang betul, membawa orang kepada bidaah atau kekufuran.

· Ideolog Ekstremis yang menyelewengkan nas-nas Islam yang jelas untuk menggalakkan ideologi keganasan dan takfiri, memikul dosa setiap tindakan keganasan dan setiap jiwa yang disesatkan oleh propaganda mereka.

· Pemimpin Kultus yang mencipta kultus personaliti, menyelewengkan ajaran untuk kawalan, dan menyesatkan pengikut daripada kepercayaan arus perdana yang ortodoks.

· Penipu "Kerohanian" yang mengeksploitasi kepercayaan orang untuk wang, kemasyhuran, atau kuasa menggunakan tahyul dan janji palsu.


B. Pencipta & Penyebar Kesesatan Sistematik:


· Pereka Moral Songsang yang Meluas: Tokoh utama dalam industri yang menormalisasi, mengagungkan, dan mengambil untung daripada apa yang dianggap dosa besar dalam Islam—seperti pornografi, sistem kewangan berasaskan riba yang memperhambakan orang miskin, atau promosi besar-besaran alkohol, judi, dan pergaulan bebas. Dosa mereka bukan sahaja peribadi; ia digandakan oleh jutaan yang mereka sesatkan.

· Pemerintah Zalim & Ideolog: Diktator dan pemikir yang menubuhkan dan menguatkuasakan sistem yang korup, ateis, atau menindas yang aktif menganiaya keimanan, meruntuhkan moral, dan mengajar generasi untuk menolak Tuhan.

· Mogul Media Massa & Jurutera Budaya: Mereka yang mengawal platform utama (berita, hiburan, media sosial) dan dengan sengaja menggunakannya untuk secara sistematik menggalakkan kerosakan akhlak, keruntuhan keluarga, kepalsuan, dan kebencian terhadap agama, membentuk persepsi awam menjauhi kebenaran.


C. Perosak Ilmu & Penyesat Intelektual:


· Ahli Akademik & Intelektual Awam yang, didorong oleh ideologi, dengan sengaja membina dan mengajar falsafah yang menafikan fitrah manusia, tujuan ketuhanan, dan moral objektif (contohnya, aliran tertentu relativisme moral radikal, saintisme militan), mencipta kekeliruan spiritual untuk pelajar dan orang awam.

· Pereka Berita Palsu dan Propaganda: Mereka yang mencipta dan menyebarkan pembohongan besar-besaran yang sengaja menyebabkan percakaran sosial, peperangan, atau kebencian antara kumpulan.


---


Kelayakan Penting dalam Islam:


1. Ilmu dan Niat Penting: Ayat ini menyebut "tanpa ilmu." Beban terbesar adalah ke atas mereka yang sepatutnya tahu atau yang dengan sengaja menyelewengkan kebenaran. Pengikut yang jahil memikul dosanya sendiri, tetapi penyesat yang berilmu memikul sebahagian dosa semua pengikutnya.

2. Skala Pengaruh: "Beban" adalah berkadaran dengan pengaruh. Ibu bapa yang menyesatkan anak, guru yang menyesatkan pelajar, atau figura media yang menyesatkan jutaan—semua termasuk dalam prinsip ini, tetapi berat dosa berganda dengan skop kesesatan.

3. Bukan Lesen untuk Takfir (Pengkafiran): Mengenal pasti kategori ini adalah amaran untuk muhasabah diri, bukan alat untuk Muslim mudah menuduh orang lain. Menghakimi individu tertentu adalah hak mutlak Allah. Tujuan Al-Quran ialah menetapkan prinsip tanggungjawab yang dahsyat bagi pemimpin dan pihak yang berpengaruh.

4. Sisi Lain: Pahala Besar bagi Pemberi Petunjuk: Sebagaimana kesesatan membawa dosa berganda, petunjuk membawa pahala berganda. Nabi SAW bersabda: "Sesiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya." (Sahih Muslim).


Kesimpulan:


Secara sejarah, mereka ialah penentang Nabi yang berkuasa.

Secara prinsip,mereka adalah mana-mana individu yang berada dalam kedudukan autoriti agama, intelektual, politik, atau budaya yang dengan sengaja dan aktif menyesatkan orang ramai daripada kebenaran dan ke dalam dosa atau kekufuran.


Ayat ini dengan itu merupakan amaran abadi yang berat kepada semua pemimpin, pemikir, pihak yang berpengaruh, dan pencipta: dengan autoriti yang besar datang bukan sahaja akauntabiliti peribadi, tetapi juga bahagian potensi dalam nasib spiritual mereka yang anda pengaruhi. Ia adalah antara pernyataan paling kuat dalam Al-Quran mengenai etika kepimpinan dan penyebaran idea.